Senin, 21 November 2011

Masyarakat perkotaan dan masyarakat desa ( " RAYUAAN TRAFFICKING DI DESA JAWA TIMUR SAAT LEBARAN ")

Sebagai masyarakat Jawa Timur, sekaligus sebagai anggota DPRD Jawa Timur, saya sangat perihatin. Betapa tidak, Jawa Timur ternyata menjadi salah satu provinsi dengan tingkat perdagangan manusia (trafficking) tertinggi di Indonesia. Hingga tahun 2005, Jawa Timur menduduki peringkat kedua, provinsi yang menjadi sumber orang- orang yang akan diperdagangkan setelah DKI Jakarta.
Bahkan Kepolisan Daerah (Polda) Jawa Timur menyatakan berhasil menekan perdagangan manusia (trafficking) berkedok diberangkatkan sebagai tenaga kerja di mancanegara. Operasi Bunga yang pernah dilakukan selama Desember 2008 menyelamatkan 109 korban. Ini hanya kasus yang bisa terdeteksi oleh Polda, bagaimana dengan yang belum terdeteksi? Saya yakin lebih banyak lagi. Sungguh ini memperihatinkan.
Dan jika kita lihat lebih detail lagi dari data di atas, ternyata korban perdagangan manusia di Jatim yang terdeteksi oleh kepolisian terbanyak di wilayah hukum Polwiltabes Surabaya, yakni 35 orang. Disusul Polresta Malang sebanyak 25 orang. Sumber Polda Jatim menyatakan Polresta Surabaya Utara berhasil menyelamatkan 13 orang, Polwiltabes Surabaya 10 orang, Polres KP3 Tanjung Perak dan Polres Banyuwangi 7 orang.
Selain dari pada itu, selama enam bulan, yakni Januari sampai dengan Juni 2009 banyak terjadi kasus perdagangan orang (trafficking) di Surabaya. Dari data Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) Jatim terdapat 19 kasus, yakni pada Maret dua kasus, April empat kasus, dan Juni 13 kasus. Ini jelas tidak boleh diabaikan khususnya oleh Pemerintah Propinsi meskipun kasus-kasus ini menjadi ranah pihak kepolisian untuk menanganinya. Tapi sebagai penyelenggara pemerintahan dan sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat, pemprof jatim punya kewajiban untuk melindungi dan menyelamatkan warganya dari kejahatan traficking ini.
Dengan kasus-kasus yang begitu banyak terjadi di Jawa Timur sampai tahun 2009 ini, saya menilai bahwa Pemprof Jawa Timur masih sangat kurang memadahi kinerjanya untuk mengantisipasi hal ini. Saya melihat pemprof kurang pro aktif dalam hal-hal yang terkait dengan tindakan preventifnya. Masih terkesan lebih mengedapankan tindakan kuratif dan advokasi saja. Menurut saya harusnya upaya prefentif lebih gencar dilaksanakan sehingga secara personal, warga jawa timur memiliki imunitas terhadap serangan (dan bujuk rayu) penjahat traficking.
Saat ini harus sudah ada WARNING bagi pemprof dan karenanya harus menerapkan SIAGA SATU untuk melindungi warga dari kejahatan ini, mengingat semakin dekatnya dengan masa MUDIK LEBARAN. Masa MUDIK LEBARAN biasanya menjadi momen yang sangat baik bagi para penjahat traficking untuk mencari mangsanya dengan berbagai modus dan dengan berbagai sarana. Agen-agen mereka bisa berdatangan ke kampung-kampung untuk mencari mangsa. Baik agen yang berasal dari kampung yang bersangkutan yang kemudian pulang kampung, maupun secara sengaja ada agen-agen yang datang ke kampung-kampung bergerilya membujuk dan menjebak mangsa dengann berbagai janji-janji yang menyilaukan. Mulai dari janji dinikahkan dengan orang berada di kota atau negara lain, sampai janji dipekerjakan dengan pendapatan yang menggiurkan.
Mengapa masa MUDIK LEBARAN menjadi momen yang harus SIAGA SATU, ini tidak lain karena secara kultural pada saat liburan mudik lebaran adalah masa yang sangat membuat LENGAH MASYARAKAT. Masyarakatnya Lengah, Perangkat RT, RW dan Desa juga lengah tidak bisa memantau siapa saja yang hilir mudik ke tempat/perkampungannya dan apa saja yang mereka lakukan.

Solusinya:
Untuk mengantisipasi bahaya kejahatan traficking dan bertambahnya kasus di Jawa Timur, maka mendekati masa libur MUDIK LEBARAN ini harus dilakukan langkah Preventif dan Kuratif sekali gus.
Untuk langkah Kuratif, pemprof sudah selayaknya memberlakukan “SIAGA SATU” dengan cara misalnya:
- Memberdayakan perangkat RT/RW dan perangkat Desa/Kelurahan untuk melakukan penyadaran kepada warga masyarakatnya atas adanya bahaya traficking dengan berbagai modusnya sehingga tidak mudah terbujuk oleh “agen Traficking”.
- Memberikan penyadaran secara merata kepada masyarakat yang rawan menjadi obyek traficking dengan berbagai media, baik media elktronik maupun cetak. Bahkan menurut saya harus dibuat spanduk-sepanduk penyadaran yang tidak cukup di pasang sampai ibu kota kecamatan, tetapi bahkan sampai ke pelosok desa, khususnya desa rawan.
- Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi berkordinasi secara aktif dengan pihak terkait, mulai dari imigrasi sampai dengan kepolisian untuk mendirikan pos-pos pengaduan (pos advokasi) serta oparsi secara tersetruktur untuk mencegah keberangkatan ke kota maupun ke manca negara dengan alibi mencari pekerjaan.

Insya’allah beberapa hal tersebut jika dilakukan sungguh-sungguh akan dapat mengantisipasi terjadinya traficking di Jawa Timur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar